Prediksi HK — Data terbaru dari Bank Dunia dan United Nations Statistics memetakan posisi industri manufaktur Indonesia di pentas dunia. Pada 2024, nilai tambah sektor ini mencapai USD 265,07 miliar atau sekitar Rp4.400 triliun. Pencapaian ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-13 secara global, sebuah prestasi yang patut diapresiasi. Namun, bila dilihat lebih dekat, tantangan justru terlihat dari perbandingan dengan negara-negara tetangga di Asia.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita membeberkan data yang menunjukkan Indonesia masih tertinggal dari empat raksasa Asia, yaitu Tiongkok (USD 4.661,44 miliar), Jepang (USD 867,11 miliar), India (USD 490,40 miliar), dan Korea Selatan (USD 416,38 miliar). Posisi Indonesia berada di urutan kelima di kawasan Asia.
Peringkat Global dan Target Penyusulan
Dalam paparannya pada acara Business Matching Produk Dalam Negeri di Jakarta, Menperin Agus memberikan konteks yang lebih luas. Nilai tambah manufaktur Indonesia ternyata berdekatan dengan beberapa negara ekonomi besar seperti Brasil (USD 269,83 miliar), Rusia (USD 288,11 miliar), dan Inggris (USD 291,80 miliar).
“Angka Indonesia 265 miliar dolar. Kita bandingkan dengan Brasil, Rusia, dan Inggris, nilainya hampir sama. Hanya perlu sedikit upaya ekstra untuk bisa meningkatkan peringkat kita,” ujar Agus. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa peluang untuk naik kelas sangat terbuka lebar.
Agus tampak optimis dengan masa depan industri dalam negeri. Ia meyakini dengan konsistensi kebijakan, Indonesia mampu menyusul salah satu dari empat negara di atasnya dalam waktu yang tidak terlalu lama. “Saya tidak perlu menyampaikan, negara mana yang lebih mudah kita susul,” tambahnya dengan nada penuh keyakinan, memberikan sinyal bahwa target tersebut sudah terpetakan.
Strategi Kunci: Memacu Permintaan Domestik Melalui P3DN
Lantas, langkah konkret apa yang diambil pemerintah untuk mendongkrak nilai tambah manufaktur Indonesia? Jawabannya terletak pada kebijakan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Kebijakan ini menjadi tulang punggung strategi untuk memastikan permintaan domestik, khususnya dari belanja pemerintah dan BUMN, diserap oleh industri lokal.
“Kebijakan P3DN ini berhasil memastikan bahwa nilai tambahnya tetap berada di Indonesia. Tidak pindah ke negara lain,” tegas Agus. Logikanya sederhana namun powerful: dengan memperkuat permintaan dari dalam negeri, industri memiliki pasar yang stabil dan dapat berinvestasi lebih lanjut untuk peningkatan kapasitas, inovasi, dan efisiensi. Ini akan menciptakan siklus positif yang pada akhirnya mendorong nilai tambah yang lebih tinggi.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Posisi ke-13 di dunia adalah landasan yang kuat, tetapi lompatan ke posisi yang lebih tinggi memerlukan lebih dari sekadar kebijakan permintaan. Investasi dalam teknologi, peningkatan keterampilan tenaga kerja, penyederhanaan regulasi, dan penguatan rantai pasok lokal adalah faktor-faktor penentu lainnya yang perlu terus didorong.
Perjalanan untuk menyamai bahkan melampaui pencapaian India, Korea Selatan, atau Jepang dalam hal nilai tambah manufaktur Indonesia memang bukan lari sprint, melainkan marathon. Namun, dengan kombinasi antara kebijakan yang tepat seperti P3DN, konsistensi, dan kemitraan strategis antara pemerintah dan pelaku industri, target untuk naik peringkat dalam peta manufaktur global bukanlah sekadar wacana, melainkan sebuah tujuan yang dapat diwujudkan.